Pengobatan Alternatif Herbal Jamur Dewa
Herbal Alami Jamur Dewa, mengandung beta glucan dan polisacharida yang berguna untuk meningkatkan kinerja sel darah putih, menekan penyakit, anti virus juga sebagai obat anti kanker. Penyakit yang dapat diobati antara lain darah tinggi, kolesterol, diabetes, asam urat, kanker, kista, gatal-gatal dll

Jamur Dewa

Herbal Alami Agaric Pure Jamur Dewa adalah Herbal Alami / Natural Herbs / untuk Penyakit Darah Tinggi/Hipertensi, Cholesterol/Kolesterol, Hepatitis, Kanker, Kista, Diabetes/Diabetics, Sistem Kekebalan Tubuh, Penyakit disebabkan virus.

Agaric Pure mengandung 100% Jamur Dewa (Jamur Agaricus blazei Murril / Himematsutake / ABM) dan sangat baik untuk anda yang sedang menderita penyakit kanker, diabetes, hipertensi, kolesterol, Hepatitis, kista, penyakit karena virus.

Agaric Pure adalah Herbal kesehatan dari bahan jamur Agaricus Blazei Murill yang dikembangkan di Malang, Jawa Timur dengan kandungan Polisacharida dan BetaD-Glucan yang terbukti memperkuat kinerja sel-sel darah putih sehingga mampu menekan dan mempertahankan keseimbangan daya tahan tubuh dari berbagai penyakit yang berasal dari virus, bakteri dan sel kanker tanpa efek samping.

Jamur Dewa terbuat dari bahan jamur Agaricus Balzei Murill (Himematsutake) yang sangat populer dinegara Jepang karena khasiat dan fungsinya sangat baik sekali dalam pengobatan berbagai jenis penyakit. Polisacharide dan Beta D-Glucan dalam jamur Agaricus Blazei Murill ini bekerja aktif di dalam tubuh meningkatkan kinerja sel T yg berfungsi menekan dan menghambat berbagai macam penyakit.

Artikel Populer

Depresi Hambat Upaya Terapi Kanker Payudara


Data American Cancer Society menunjukkan, lebih dari 230.000 perempuan tahun ini didiagnosis terkena kanker payudara dan sekitar 40.000 di antaranya diprediksi tidak mampu bertahan bertarung dengan kanker ganas tersebut. Penelitian terbaru para ahli dari University of Missouri menunjukkan, faktor-faktor tertentu seperti status perkawinan, anak, tingkat pendapatan dan usia turut mempengaruhi kemungkinan timbulnya depresi pada survivor kanker payudara. 
Menurut peneliti, masalah depresi pada survivor kanker payudara cenderung akan membuat mereka tidak mematuhi terapi pengobatan yang berdampak pada terhambatnya kemajuan penyembuhan. Ann Bettencourt, profesor ilmu psikologi di University of Missouri , telah mempelajari kelompok mana yang paling mungkin untuk mengalami gejala depresi. 
Ia menemukan bukti bahwa perempuan lajang dan ibu rumah tangga lebih mungkin mengalami depresi selama menjalani serangkaian upaya pengobatan . "Banyak perempuan mendapatkan dukungan kuat ketika mereka didiagnosis kanker payudara dan menjalani pengobatan untuk kanker. Tapi kemudian dukungan sosial tersebut memudar," kata Bettencourt. Ia menambahkan, "temuan kami menunjukkan bahwa baik perempuan lajang dan ibu dengan anak-anak di rumah mungkin memerlukan dukungan tambahan sepanjang tahun untuk dapat menjalani pengobatan." 
Dalam risetnya, Bettencourt juga menghubungkan tingkat depresi dengan pendapatan dan faktor usia. Perempuan dengan pendapatan rendah cenderung mengalami peningkatan depresi. Tetapi perempuan dengan pendapatan tinggi, gejala depresi mungkin akan berkurang selama menjalani pengobatan. 
Survivor kanker payudara usia muda juga cenderung mengalami depresi selama pengobatan ketimbang pasien yang lebih tua. Tetapi tingkat depresi akan sama setelah perempuan yang lebih tua selesai menjalani pengobatan. Bettencourt mengatakan, mengidentifikasi faktor-faktor risiko depresi pada survivor kanker payudara merupakan bagian penting dari prognosis (prediksi kemungkinan sembuh) wanita. 
Dalam sebuah studi terpisah, ia juga menghubungkan kaitan antara depresi dengan niat pasien untuk mematuhi rencana pengobatan. Hasil penelitian menunjukkan, pasien kanker payudara yang tertekan (depresi), cenderung kurang mematuhi pengobatan. "Depresi dapat mengganggu kesediaan pasien untuk patuh pada rejimen pengobatan. Penyimpangan program pengobatan pada akhirnya akan mempersulit upaya penyembuhan pasien," tandasnya. 

Sumber : EurekAlert 
Bramirus Mikail | Asep Candra | Jumat, 4 November 2011 | 08:53 WIB KOMPAS.com

Diabetes Kehamilan dan Risikonya pada Bayi


Diabetes semasa hamil (gestational diabetes) adalah satu bentuk penyakit kencing manis yang dialami oleh ibu mengandung. Kurang lebih sebanyak 3 persen ibu hamil didapati mengidap penyakit ini meski tidak memiliki riwayat diabetes sebelumnya. Dr. Tan Ay Eeng, Pakar Kandungan & Ginekologi dari Prince Court Medical Center mengatakan, diabetes selama hamil lazimnya didapatkan pada trimester kedua kehamilan dan akan sembuh selepas bayi dilahirkan. Walaupun makanan manis bukanlah penyebab utama diabetes jenis ini, calon ibu harus berpikir untuk melakukan diet dan aktivitas sehat semasa mengandung untuk mengurangi risiko penyakit ini. 
Secara umum Tan Ay Eeng memaparkan, gejala dari penyakit ini umumnya ringan dan tidak mengancam, tetapi ada kemungkinan besar Anda akan mengalami lesu, mudah haus, sering kencing, dan penurunan berat badan meskipun selera makan bertambah. Untuk memastikannya, lakukan pemeriksaan gula darah. 

  1. Berikut ini adalah beberapa dampak dari diabetes semasa hamil pada bayi yang dilahirkan: Bayi berukuran besar (Makrosomia) Bayi dalam kandungan menghasilkan lebih banyak insulin yang akan memberikan gula berlebihan kepada lemak sehingga mengakibatkan bayi membesar lebih daripada ukuran biasanya. Keadaan ini mungkin akan merumitkan proses bersalin seperti kelahiran menjadi lama, risiko cedera saat dilahirkan, dan kemungkinan besar ibu harus bersalin dengan cara operasi caesar.
  2. Hipoglisemia neonatal (gula dalam darah rendah) Bayi akan terus menghasilkan insulin dalam jumlah yang banyak untuk jangka masa tertentu selepas dilahirkan. Namun karena tidak ada lagi sumber gula dari ibu, akibatnya bayi yang baru lahir akan mengalami hipoglisemia. Kondisi seperti ini akan membuat bayi menggigil atau mungkin mengalami masalah pernafasan, namun keadaan ini dapat dipulihkan dengan segera apabila bayi diberi ASI atau air gula tambahan.
  3. Komplikasi lain Bayi mungkin akan menghidap penyakit kuning (jaundis) saat dilahirkan. Bahkan, ibu yang mengandung kemungkinan besar akan mendapati persalinan lebih awal. Walaupun bayi yang dilahirkan tidak mengidap diabetes, tetapi risiko bayi menjadi obesitas atau menghidap diabetes dikemudian hari cukup tinggi. 

Herbal



Sumber :mypositiveparenting 
Bramirus Mikail | Lusia Kus Anna | Sabtu, 5 November 2011 | 06:53 WIB Kompas.com

Pengobatan dalam Naskah-naskah Kuno


Ilmu pengobatan merupakan tradisi warisan nenek moyang bangsa Indonesia. Selain diturunkan secara lisan, metode pengobatan tradisional tersebut mereka catat dalam naskah-naskah. Sayangnya, karena tidak banyak dimanfaatkan dalam ilmu pengobatan, bentuk kearifan lokal itu terancam punah bersama hancurnya alam yang sebenarnya anugerah. Tersebutlah seorang balian (penyembuh) bernama Buddha Kecapi di Pulau Bali. Ia dikenal mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Suatu ketika, sang balian bertemu penyakit aneh yang tak bisa ia sembuhkan. 
Sang balian merasa gagal. Ia pun bersemadi di setra (makam), meminta petunjuk para dewa. Singkat cerita, Dewa Siwa mengutus istrinya, Dewi Uma, agar turun ke Bumi untuk mengabulkan permintaan sang balian. Seusai dirajah lidahnya, sang balian mendapat petunjuk dari Dewi Durga (perwujudan dari Dewi Uma setelah turun ke Bumi) tentang filosofi hidup- mati, aksara suci, dan berbagai hal soal penyembuhan penyakit. Sejak itu, kemampuan Buddha Kecapi kian meningkat. Hanya kematian yang tak bisa ia atasi. Sang balian memanfaatkan tanaman, hewan, dan air untuk membuat resep pengobatan. Itulah sepenggal narasi naskah Usada Buddha Kecapi. 
Naskah yang tertulis di atas 80 lembar daun lontar ini tersimpan di Gedong Kirtya, daerah Singaraja, Bali. ”Buddha Kecapi merupakan dokumentasi pengobatan tradisional yang ditulis dalam bentuk karya sastra,” kata I Ketut Jirnaya, Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Kuna, Fakultas Sastra Universitas Udayana, Bali, Jumat (7/10), di Denpasar. Jirnaya adalah ahli filologi yang banyak meneliti naskah kuno Bali terkait tradisi pengobatan. Perbedaan Buddha Kecapi dengan naskah Usada lain adalah naskah itu berisi ilmu pengobatan disertai uraian ilmiahnya. 
Ada filosofi dan diagnosa penyakit sebelum balian memberi obat tradisional. Catatan usada lain lebih berisi resep praktis pengobatan. ”Sampai sekarang orang Bali masih percaya betul bahwa penyakit disebabkan dua hal, akibat kuman penyakit atau roh leluhur. Balian harus bisa membedakan,” kata Jirnaya. Naskah Sunda Catatan ilmu pengobatan Nusantara tak hanya ditemukan pada naskah kuno Bali. Masyarakat kuno di daerah lain juga menuliskannya. Salah satunya, masyarakat Sunda kuno yang punya catatan Kumpulan Mantra, Paririmbon, dan Petangan. 
Pada naskah Kumpulan Mantra dari Jampang Kulon, Sukabumi, ditemukan 189 mantra yang 20 di antaranya mantra terkait pengobatan, seperti membasmi wabah penyakit, membuang racun, dan menyembuhkan penyakit cacar. Pada seminar ”Pengobatan Tradisional dalam Naskah Nusantara” yang diadakan Perpustakaan Nasional Jakarta, akhir September lalu, Ruhaliah, dosen dan peneliti pernaskahan dan tradisi lisan dari Universitas Padjadjaran Bandung, mengatakan, teks naskah Sunda ditulis berbahasa Sunda dan Jawa. Sebagian mantra disertai doa berbahasa Arab. 
Dalam pengobatan, masyarakat tradisional Sunda dan Jawa sangat memperhatikan waktu dan peristiwa terkait siklus manusia. Masing-masing siklus mempunyai cara pengobatan yang berbeda. Nama siklus dan cara pengobatannya tertulis dalam Paririmbon (Sunda) atau Primbon (Jawa). Primbon atau paririmbon masih digunakan. ”Dalam khazanah naskah Sunda terdapat informasi dari berbagai jenis penyaktit, obat, dan mantra yang digunakan dan ritual penyembuhan. 
Masyarakat masa kini bisa memanfaatkannya untuk meneliti tanaman-tanaman obat yang digunakan agar berkembang menjadi pengobatan modern,” kata Ruhaliah. Naskah-naskah berisi ilmu pengobatan juga ditemukan di Sumatera Barat dan Aceh. Ratusan naskah di Sumbar ini oleh para peneliti disebut Naskah Minangkabau. Di Aceh, naskah pengobatan yang banyak diteliti adalah naskah kuno dari Pidie. 
Selain naskah lontar atau kitab, sumber tertulis lain, seperti prasasti, tidak menyebut spesifik tanaman obat dan kegunaannya. Secara arkeologis, prasasti adalah piagam resmi kerajaan yang dipahat di batu/lempengan logam. Dalam prasasti disebut beberapa tanaman, terutama pada prasasti Jawa Kuno. Ismail Lutfi dari komunitas budaya Pandu Pusaka Malang, Jawa Timur, mengungkapkan, nama tanaman ini muncul dalam lima konteks, yaitu sebagai sima atau penetapan suatu daerah, daftar komoditas perdagangan, mencatat peristiwa hukum, jenis-jenis pajak, dan anugerah raja. 
Tanaman sebagai komoditas perdagangan inilah yang diduga tanaman obat-obatan. Jadi komoditas karena dibutuhkan banyak orang. Salah satu tanaman yang tertulis dalam prasasti Jawa Kuno adalah wungkudu (mengkudu), bawang, pisang, dan lada. Data terkini menunjukkan, ada 40.000 lebih jenis tumbuhan di dunia, 30.000 di antaranya di Indonesia. Data baru Perpustakaan Nasional menunjukkan, ada 9.600 spesies tanaman berkhasiat obat. Sayangnya, baru 300 jenis yang dimanfaatkan dan diproduksi sebagai ramuan obat oleh industri obat. 
Di dalam negeri, ketika ilmu pengobatan dunia barat dianggap membawa efek samping, orang kembali melirik pengobatan tradisional dari tanaman obat atau jamu. Sayangnya, justru klinik pengobatan tradisional China yang laris. ”Itu karena penelitian ilmu kedokteran China berbasis kekayaan alam mereka,” kata Arif Hartarta, peneliti kajian budaya dari Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah. Institut Pertanian Bogor (IPB) juga mulai meneliti tumbuhan dan manfaatnya bagi kesehatan. 
Upaya saintifikasi tanaman berkhasiat obat di Indonesia mendesak dilakukan agar warisan budaya tidak punah. Tantangan muncul ketika hutan terus digunduli yang berakibat mematikan tanaman berkhasiat obat. Ketika tanaman obat langka, kemampuan menyembuhkan, seperti para balian Buddha Kecapi, akan tak berguna. 

Pengobatan Alternatif Herbal


Sumber : Kompas Cetak 
Lusia Kus Anna | Sabtu, 8 Oktober 2011 | 08:53 WIB Oleh Lusiana indriasari

Dokter Dilatih Gunakan Obat Tradisional


SOLO, KOMPAS.com — 
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Kesehatan mengembangkan pelatihan penggunaan obat tradisional di kalangan dokter. "Dokter yang ingin meresepkan obat herbal harus mengikuti pelatihan selama 120 jam. Untuk tahap awal 50 jam. Dokter yang lulus pelatihan ini boleh menggunakan jamu sebagai obat," kata Ketua IDI Prijo Sidipratomo ketika ditemui di Konferensi Obat Tradisional ke-3 ASEAN di Solo, Senin (31/10/2011). 
Para dokter juga disebut Prijo harus terdaftar di Dewan Kedokteran untuk memastikan mereka terlindungi secara hukum dan juga memastikan bahwa masyarakat juga terlindungi. "Kalau dokter ingin gunakan obat tradisional, dokter harus diadvokasi terlebih dahulu. Kita sudah menyusun materi training dengan Balitbang," ujarnya. Untuk saat ini, penggunaan obat tradisional menurut Prijo masih dalam tahap pengobatan komplementer (pelengkap), belum sebagai pengobatan utama. "Selain membuat orang menjadi sehat, kita (dokter) juga menjaga seseorang sehat tetap sehat. Itu yang dapat didorong dengan jamu," katanya. 
Penelitian lebih lanjut menurutnya dapat digunakan untuk mendorong obat tradisional menggantikan obat modern, setelah keampuhan dan kualitasnya dapat dipastikan melalui standardisasi. Kehadiran obat tradisional seperti jamu, diakui Prijo, tidak dapat diabaikan karena telah ada sejak ratusan tahun yang lalu di masyarakat. "Mayoritas masyarakat juga telah menggunakan jamu. Sekitar 95 persen di antaranya menggunakan jamu sebagai pencegahan," katanya. 
Sementara itu, Konferensi Pengobatan Tradisional ASEAN ke-3 yang berlangsung di Solo, Jawa Tengah, sejak 31 Oktober-2 November itu membahas mengenai integrasi pengobatan tradisional ke dalam sistem pengobatan dengan memperhatikan keampuhan, ketersediaan, dan kualitas dari obat tradisional. 

Pengobatan Alternatif Herbal


Sumber : ANT, Kompas 
Asep Candra | Senin, 31 Oktober 2011 | 11:05 WIB

Masyarakat Bergantung pada Obat Tradisional

SOLO, KOMPAS.com -
Di beberapa negara Asia dan Afrika, sekitar 80 persen penduduk bergantung pada obat tradisional untuk perawatan kesehatan primer. Oleh karena itu, pemberian obat tradisional yang aman dan efektif dapat menjadi alat penting untuk meningkatkan akses ke perawatan kesehatan secara keseluruhan. Demikian dikatakan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih ketika membuka "the 3 Conference on Traditional Medicine in ASEAN Countries" di Hotel Sunan Solo, Senin (31/10/2011). Ia mengatakan, dalam hal pelayanan kesehatan, obat tradisional dapat menjadi bagian penting dari sistem kesehatan di negara manapun di dunia, termasuk di negara-negara ASEAN. Obat tradisional sering lebih diterima secara budaya oleh masyarakat dibandingkan dengan obat konvensional. Berdasarkan data hasil riset kesehatan tahun 2010, hampir setengah (49,53 persen) penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas, mengonsumsi jamu. Sekitar lima persen (4,36 persen) mengkonsumsi jamu setiap hari sedangkan sisanya (45,17 persen) mengkonsumsi jamu sesekali. Proporsi jenis jamu yang banyak dipilih untuk dikonsumsi adalah jamu cair (55,16 persen), bubuk (43,99 persen) dan jamu seduh (20,43 persen), sedangkan proporsi terkecil adalah jamu dikemas secara modern dalam bentuk kapsul/tablet (11,58 persen). Menkes mengatakan, terdapat dua tantangan utama dalam penggunaan obat tradisional di Indonesia. Pertama, konsumen cenderung menganggap bahwa obat tradisional (herbal) selalu aman. Tantangan selanjutnya yaitu mengenai izin praktik pengobatan tradisional dan kualifikasi praktisi kesehatan tradisional. "Berdasarkan survei global WHO (1994) tangtangan yang dihadapi dalam pemanfaatan obat tradisional yaitu kurangnya data penelitian, kurangnya mekanisme kontrol yang tepat, kurangnya pendidikan dari pelatihan dan kurangnya keahlian," katanya. Deklarasi Alma Ata (1978) dunia telah berkomitmen bahwa obat tradisional harus dikembangkan secara signifikan. Negara anggota ASEAN juga menyadari pentingnya mengintegrasikan pengobatan tradisional ke dalam sistem kesehatan nasional, terutama dalam pelayanan kesehatan primer, dengan memanfaatkan obat tradisional. Jamu secara luas digunakan oleh masyarakat Indonesia. Dari sebanyak sekitar 30.000 spesies tanaman yang ada di Indonesia, 7.000 spesies merupakan tanaman obat dan 4500 spesies diantaranya berasal dari pulau Jawa selain itu terdapat sekitar 280.000 orang praktisi pengobatan tradisional di Indonesia. 

Sumber : ANT, Kompas Health Asep Candra | Senin, 31 Oktober 2011 | 16:58 WIB 


Obat Tradisional